Definisi Air


Definisi Air 



Air adalah cairan jemih clan lembut yang berwarna sesuai dengan tempatnya, dan Allah swt menciptakan rasa segar saat meneguknya. 
Pembagian Air Ditiniau Dari Sumber dan Tempatnya 
Ditinjau dari sumber dan tempatnya, air terbagi menjadi tuiuh. Tiga berasal dari langit, yaitu air hujan, salju dan embun. Dan empat berasal dari tanah, yaitu air laut, sumur, sungai dan sumber. 
Tingkatan Keutamaan Air 
Tingkatan keutamaan air yang dinadzomkan sebagian ulama adalah sebagai berikut: 

“Air yang paling utama adalah air yang keluar dari jemari Nabi.” ‘Disusul air Zamzam, lalu air bengawan Kautsar, kemudian air sungai Nil Mesir dan selanjutnya bengawan-bengawan yang lain. ” 
Pembagian Air Ditiniau Dari Hukumnya 
Pertama, air suci dan mensucikan. Air ini disebut dengan air Thahur (baca juga : Pengertian thaharah ) dan Mutlaq. Yang dimaksud mutlaq adalah air yang tidak disertai dengan nama sama sekali menurut pakar urf (tradisi) dan pakar lisan (bahasa) yang telah mengetahui keadaan air tersebut, sehingga cukup menyebutnya dengan air saja tanpa disertai nama lain. Begitu pula air yang disertai nama yang tidak mengikat, akan tetapi nama tersebut akan hilang dengan berpindahnya air dari satu tempat ke tempat yang lain. Seperti air sumur dan air laut. Maka hukum air ini sah untuk digunakan bersuci.
Berbeda dengan air yang memiliki nama yang mengikat, seperti air mawar, kopi dan anggur, maka tidak dapat disebut air mutlaq dan tidak sah digunakan bersuci. 

Air Mutlaq Ditinjau Dari Hukum Makruh Menggunakannya
Air Mutlaq ditinjau dari hukum makruh dan tidaknya Hukum Makruh daIam penggunaannya terbagi menjadi dua: 

1. Tidak makruh menggukannya.
2. Makruh digunakan. Dan yang kedua ini terbagi menjadi empat:
a. Air musyammas (air yang dipanaskan dengan Matahari). Dihukumi makruh karena khawatir menyebabkan penyakit belang (barash);
b. Air yang terlalu panas, karena dapat mencegah untuk menyempumakan bersuci sebab terlalu panas.
c. Air yang terlalu dingin, sebagaimana alasan air yang terIaIu panas. 

d. Air dari hasil ghasab.
Beberapa Syarat Kemakruhan Air Musyammas 
Air musyammas hukumnya makruh digunakan jika memenuhi Sembilan syarat. Jika salah satu saja tidak terpenuhi hukum kemakruhannya menjadi hilang. 
Sembilan syarat ini terkumpul dalam ungkapan nadzam sebagian ulama: 

”Sesungguhnya ulama menghukumi makruh air musyammas ketika masih panas bagi orang hidup, dengan hukum yang telah ditetapkan. ” ”jika air tersebut berada di wadah yang terbuat dari logam selain emas dan perak, dan digunakan di musim panas tidak di waktu dingin.” "Digunakan di badan, dan di daerah panas, masih ada air lain dan tidak khawatir terjadi bahaya. ”

    1.    Panas air disebabkan terik Matahari. 
    2.    Digunakan saat masih panas.
    3.    Digunakan oleh orang hidup
    4.    Air berada di wadah yang terbuat dari logam, seperti besi, tembaga, timah dan lainnya, kecuali emas dan perak
    5.    Digunakan di musim panas
    6.    Digunakan di badan, bukan yang lain seperti baju
    7.    Digunakan di daerah yang panas‘ seperti Hijaz dari Hadlramaut
    8.    Masih bisa menggunakan air yang lain. 
    9.    Tidak ada dugaan kuat akan terjadi bahaya. Iika ada dugaan kuat, hukum bersuci menggunakan air musyammas adalah haram. 

Alasan Hukum Makruh Air Musyammas 

Alasan (’illat) hukum makruh menggunakan air musyammas adalah karat yang keluar dari wadah air musyammas tersebut bisa menyebabkan penyakit belang. Namun imam an-Nawawi lebih memilih hukum menggunakan air musyammas tidak makruh, sebab dalil yang mendasari hukum makruh ini berstatus lemah.Pendapat ini sebagaimana yang diungkapkan penyusun nadzam Shafwatu az-Zubad: 

“dan dipilih di dalam air musyammas hukum tidak makruh” 

baca juga : Air mukhalit dan mujawir

Ke dua, air suci Namun Tidak mensucikan. Termasuk golongan air ini adalah air musta’mal. Yang dimaksud air musta’mal adalah air yang telah digunakan untuk kefardluan dalam bersuci.

Syarat air musta’mal ada empat: 
1. Air kurang dari dua Qullah. 

2. Telah digunakan untuk membasuh bagian fardlu, yaitu basuhan yang menghilangkan hadats atau najis. 

3. Sudah terpisah dari tempat yang terbasuh, sehingga air yang belum terpisah dari tempat yang terbasuh tidak dapat disebut air musta’mal. 

4. Tidak bertujuan untuk menciduk saat air tersentuh dengan anggota badan yang hendak dibasuh. Iika disertai tujuan menciduk, maka air yang tersisa tidak dapat disebut musta’mal. Yang dimaksud dengan tujuan menciduk yaitu 
setelah pembasuhan wajah dan sebelum memasukkan tangan ke wadah air yang kurang dari dua Qullah, orang yang wudlu berniat untuk mengambil sebagian air guna membasuh tangan di luar wadah tersebut. Namun mengenai hukum niat menciduk dalam permasalahan ini masih diperselisihkan, apakah harus niat agar air tidak menjadi musta’mal ataukah tidak harus niat.
Hukum Air Mutlaq yang Berubah dengan Perkara Lain 
Hukum air ini sebagaimana hukum air musta’mal, yaitu suci dan tidak dapat digunakan untuk bersuci dengan beberapa syarat. Jika salah satu syarat tidak terpenuhi,hukumnya sah bersuci dengan air ini. Syarat-syaratnya sebagai berikut: 

1. Perubahan air disebabkan perkara suci. jika disebabkan perkara najis, maka hukumnya menjadi najis. 

2. Perubahannya disebabkan perkara yang mencampuri (mukhalith) seperti kopi. Jika disebabkan perkara yang menyandingi (mujawir) seperti kayu, tidak dapat mempengaruhi kemutlaqan air, sehingga hukumnya sah bersuci menggunakan air tersebut. 

Batasan mujawir adalah perkara yang tidak dapat dipisahkan dari air ketika sudah tercampur, atau perkara yang tidak dapat dibedakan dari air dengan pandangan mata secara urf (kebiasaan). Batasan mujawir adalah perkara yang mungkin untuk dipisahkan dari air meskipun sudah masuk di dalam air, atau bisa dibedakan dengan pandangan mata. 

3. Perubahan yang terjadi sangat banyak atau tampak (fahisy), sekira nama kemutlakan air menjadi hilang. Seperti air perasan, kua dan teh. Hukum bersuci dengan air yang demikian adalah tidak sah. Jika perubahan yang terjadi 
tidak terlalu banyak, maka tidak berpengaruh pada kemutlaqan air. 

4. Perkara yang mencampuri mudah terhindar dari air. Berbeda halnya dengan perkara yang sulit terhindar seperti lumut, maka hukum bersuci dengan air tersebut adalah sah. 
Contoh-Contoh Air yang Berubah


    1.    Perubahan yang terjadi sebab kayu atau minyak tidak dapat berpengaruh pada kemutlakan air. Karena kayu atau minyak termasuk mujawir, meskipun perubahan yang terjadi sangat banyak dan dapat terhindar dari air.

    2.    Perubahan yang disebabkan perasan anggur, minyak ja’faran, celak dan kayu Asynan. Perubahan ini mempengaruhi kemutlakan air, karena barang-barang ini termasuk mukhalith jika syarat-syarat yang lain terpenuhi.

    3.    Perubahan air disebabkan terlalu lama diam atau disebabkan tanah. Perubahan ini tidak berpengaruh, begitu pula perubahan yang disebabkan barang-barang yang terdapat di tempat air atau di tempat alirannya. 

    4.   Perubahan sebab garam air, dan dedaunan yang rontok dan masuk ke air dengan sendirinya (bukan karena perbuatan). Semua perkara ini tidak berpengaruh karena sulit dihindari air, sehingga tetap sah digunakan bersuci meski telah menghilangkan status nama air.

Penyusun Shafwatu az-Zubad berkata: 
”Bersuci hanya bisa sah dengan menggunakan air mutlaq, tidak dengan air musta’mal. ””Dan tidak sah dengan air yang berubah dengan perkara suci yang mukhalith, dengan perubahan yang merubah kemutlakan nama air. ”
”Di dalam rasa, bau dan warnanya, dan mungkin air bisa dihindarkan dari perkara tersebut. ”
”Dan kecualikanlah perubahan sebab kayu padat, atau dedaunan atau lumut atau debu. ” 


Ke-tiga, air najis atau mutanajjis, yaitu air yang dihukumi najis karena kemasukan najis. 


Keadaan-Keadaan Air yang Terkena Naiis. 

1. Ketika air kurang dari dua Qullah, maka menjadi najis secara mutlaq dengan hanya tersentuh najis meskipun tidak sampai berubah. 

2. Air yang banyak, dua Qullah atau lebih, tidak dihukumi najis ketika terkena najis, kecuali terjadi perubahan, baik bau, rasa atau warna, meskipun perubahannya hanya sedikit. 

Dua Qullah secara bahasa adalah dua aliran yang besar. Sedangkan secara syara’ adalah air yang kadar ukurannya mencapai lima ratus Rithl negara Iraq atau lima ratus enam puluh lima Rithl negara Tarim. Dan ukuran sekarang adalah dua ratus tujuh belas (217) liter yang seukuran dengan sepuluh ceret, sebagaimana yang diungkapkan sebagian ulama: 

”Dua Qullah adalah air sebanyak sepuluh ceret, sebagaimana yang telah terbukti tanpa ada keraguan. ” 

Permasalahan-Permasalahan yang Terkait dengan Air Mutanajjis. 

1. Ketika ada air banyak terkena najis, namun kita ragu apakah terjadi perubahan ataukah tidak, apakah diperbolehkan bersuci dengan air tersebut? 

Jawab: Diperbolehkan, dan hukumnya sah bersuci dengan air tersebut, karena sesungguhnya hukum asal air tersebut adalah suci. 

2. Ketika ada air banyak terkena najis dan mengalami perubahan, namun kita masih ragu apakah perubahan itu disebabkan perkara suci atau najis, apakah hukumnya? 

Jawab: Air tersebut dihukumi suci, karena sesunggunya hukum asal air adalah suci. 

3. Ketika air banyak yang telah berubah disebabkan perkara najis, kemudian jarak beberapa lama kita ragu, apakah perubahannya sudah hilang ataukah belum, apakah hukumnya ? 

Jawab: Kita menghukumi air tersebut najis, karena kita telah memastikan air tersebut sebelumnya adalah najis (dan masih ragu apakah hukum najis itu telah hilang) hal ini menurut pendapat ibn Hajar, sedangkan menurut ar-ramli air tersebut dihukumi suci. Sebab kesuciannya telah dirusak oleh keyakinan yang tampak jelas perubahannya dan telah hilang

Najis-Najis yang Dima'fu Ketika Mengenai Air 

Najis yang dima’fu (dimaafkan) saat mengenai air atau benda cair selain air adalah najis yang tidak terlihat oleh mata normal dan bangkai binatang yang tidak mengalir darahnya, yaitu binatang yang ketika anggota badannya disobek, darahnya tidak mengalir, seperti lalat. Bangkai ini hukumnya ma’fu dengan dua syarat:
1. Mengenai air bukan karena perbuatan seseorang.
2. Bangkai tersebut tidak sampai merubah sifat-sifat air. 

Hal ini sebagaimana yang diungkapkan penyusun nadzam Shafwah az-Zubad: 

”Dan kecualikanlah bangkai binatang yang tidak mengalir darahnya,2 atau najis yang tidak bisa terlihat oleh mata normal.” 

Cara-Cara Mensucikan Air yang Terkena Najis 

Air yang terkena najis dapat menjadi suci dengan tiga cara: 

1, Suci dengan sendirinya. Yaitu perubahan yang disebabkan najis yang mengenainya telah hilang. Hal ini jika ukuran air mencapai dua qullah atau lebih. 

2, Suci dengan ditambahkan air lagi hingga mencapai dua qullah atau lebih. Cara ini disebut dengan mukatsarah. Dan tidak bisa suci jika yang digunakan memperbanyak berupa perkara najis, seperti air kencing. 

3. Suci dengan mengurangi ukuran air, dengan syarat air yang tersisa tidak kurang dari dua qullah. 

Permasalahan-Permasalahan yang Terkait dengan Air 

1. Bagaimanakah contoh air yang digunakan mandi wajib atau wudlu wajib namun tidak sampai musta’mal?
Jawab: Ketika nadzar melakukan mandi sunnah, seperti mandi jum’at. Atau nadzar mengulangi wudlu sebelum batal. Maka keduanya hukumnya wajib, namun air yang digunakan tidak menjadi musta’mal, karena keduanya tidak menghilangkan hadats, sedangkan hukum wajib keduanya baru datang bukan asalnya, sedangkan yang dipertimbangkan adalah yang asalnya wajib. 

2. Ketika ada beberapa air mutanajjis yang berada di beberapa wadah yang berbeda, kemudian kita kumpulkan di dalam satu wadah, apakakah hukumnya?
Jawab: Jika yang terkumpul mencapai dua qullah dan tidak ada perubahan pada sifat-sifatnya, hukumnya suci dan mensucikan, meskipun setelahnya dipisah-pisahkan kembali. Jika tidak memenuhi kriteria di atas, hukumnya tidak suci. 

3. Bagaimanakah contoh air yang mencapai ratusan qullah akan tetapi hukumnya najis, padahal tidak ada perubahan sama sekali pada sifat-sifatnya?
Jawab: Contohnya adalah air mengalir di tempat aliran yang terdapat najis yang terhenti dan ukuran setiap alirannya kurang dari dua qullah. Maka semua aliran air ini adalah najis meski tidak berubah, selama masih berada di tempat alirannya, meski mencapai ratusan atau ribuan qullah. Jika telah terkumpul dalam satu tempat dan ukurannya mencapai dua qullah, maka kita hukumi suci dan mensucikan. 

4. Bagaimanakah contoh dua air yang sah digunakan bersuci jika sendiri-sendiri, dan tidak sah jika dikumpulkan jadi satu?
Jawab: Contohnya adalah ketika ada air berubah disebabkan perkara di tempatnya atau di tempat alirannya seperti lumut, lalu dicampurkan ke air yang tidak mengalami perubahan, kemudian berubah sebab percampuran ini hingga menghilangkan kemutlakan air, maka hukumnya tidak sah bersuci dengan air ini karena perubahan yang terjadi disebabkan oleh sesuatu yang mudah dihindari air.

PERUBAHAN YANG DIKIRA-KIRAKAN 

Definisi at-taghayyur at-taqdiri (perubahan yang dikira' kirakan) adalah kita menghukumi najis atau sucinya air dengan cara perkiraan, meskipun sifat-sifat air tersebut masih menetap’ sifat aslinya. 

At-Taghayyur at-taqdiri memiliki dua keadaan: 

1, Air kemasukan najis yang sifatnya telah sesuai dengan sifat-sifat air, seperti air kencing yang sudah tidak berbau, maka perubahan air tersebut dikira-kirakan dengan sesuatu yang sifatnya sangat mencolok, seperti tinta untuk mengira-ngirakan wamanya, misik untuk baunya, dan cuka untuk rasanya. 

Perkiraan ini disesuaikan dengan sifat-sifat asli najis yang masuk ke air tersebut yang berbeda dengan sifat-sifatnya air. Kemudian, jika terjadi perubahan pada sifat air dengan perkiraan ini, maka hukum air tersebut adalah najis. Perkiraan ini tidak terjadi kecuali pada air yang banyak, dan hukum melakukan perkiraan ini adalah wajib. 

2. Air kemasukan cairan suci yang sifat-sifatnya telah sesuai dengan sifat-sifat air. Seperti air mawar yang sudah tidak berbau atau air musta’mal. Dalam keadaan seperti ini, perubahan air dikira-kirakan dengan sesuatu yang memiliki sifat tidak terlalu mencolok. Perasan Anggur untuk mengira-ngirakan perubahan warna, Delima untuk rasa dan air susu binatang jantan untuk baunya. Dalam melakukan perkiraan yang dipertimbangkan hanya sifat cairan yang berbeda dengan sifat air. 

jika perkiraan ini menimbulkan perubahan pada sifat air, maka hukum air tersebut suci namun tidak mensucikan, sehingga tidak sah bersuci dengan menggunakannya. Perkiraan ini dapat dilakukan pada air sedikit atau banyak, dan hukumnya sunnah. Sehingga, jika seseorang bersuci menggunakan air tersebut tanpa didahului ijthad (upaya memperkirakannya) terhadap berubah dan tidaknya air, hukum bersucinya tetap sah. 

Semoga Bermanfaat...

Untuk mendapatkan email artikel di web www.hujjahsantri,com silahkan isi email di bawah pada form "berlangganan"



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian Thaharah

Hubungan Sifat Wajib 20 Dengan Asmaul Husna